PAHALA MENGALIR UNTUK ANDA....
Disebutkan dalam Shahih Muslim
--dari hadits Abu Mas'ud Al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, bahwa beliau bersabda. Artinya: "Barangsiapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya."
______ [ Semoga kita dimudahkan untuk mengajarkan kebaikan ] ____________

Rabu, 31 Desember 2008

Muharram (Suro) Bukan Bulan Keramat


Oleh: Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari

Muharram (Suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat. Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak diindahkan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo.
Bahkan katanya : “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara.

Selain itu, untuk memperoleh keselamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram), entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu dilarung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau. Mungkin supaya sang ratu Pantai Selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.

Acara lain yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama kyai slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela berpayah-payah. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rizki lancar, dagangan laris dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal kerbau merupakan symbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya : “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.

Itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram (Suro). Mungkin masih banyak lagi tradisi yang belum terekam disini. Kelihatannya tahayul ini diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme, dinamisme, Hindu dan Budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut.

Tentang 'Koreksi Kepercayaan Seputar Muharram (Suro)' bisa dilihat di http://berbagilentera.wordpress.com

Dikutip sebagian dari :
[Buletin Dakwah Al-Furqon Edisi 6 Th 1 Muharram 1422/Maret-April 2002. Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ponpes Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu Gresik]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2036/slash/0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar